Skip to content

Seharusnya, apakah bisa berharap pada asumsi?

Aku kesal hari ini.
Saya rasa seseorang tidak bisa menggantungkan harapannya pada kata seharusnya.

Kata seharusnya berpeluang menghancurkan kepercayaan.
Kata seharusnya bahkan berujung merusak kredibilitas.
Dan kata seharusnya membuat diri menjadi selalu waspada saat berinteraksi.

Ketika seseorang pembeli membeli barang dengan harga yang mahal, harapannya barang tersebut akan awet lama. Keinginannya barang tersebut berfungsi secara luar biasa.

Ketika ternyata barang tersebut rusak dan tidak berfungsi sesuai harapan, batinnya ngedumel.
Seharusnya barang ini bisa awet. Seharusnya bisa berkontribusi lebih lama karena harganya mahal.
Kalau terlalu cepat rusak, si pembeli bisa membanding bandingkan dengan harga yang lebih murah. Atau bahkan mungkin menyesal. Mengapa tidak justru membeli barang yang lebih murah.
Toh, pada akhirnya cepat rusak dan harus membeli barang baru lagi.

Memakai kata seharusnya, membuat seseorang telah menaruh harapan yang besar. Bahkan mungkin terlalu besar.

Contoh lain. Orang tua yang membelikan anaknya hadiah yang mahal. Memberikan fasilitas yang bagus untuk kehidupan anaknya, akan punya banyak harapan bagi anaknya. Dipilihkan pula anaknya lingkungan yang aman dan terlindung.
Seharusnya si anak, menurut kepada orang tuanya. Kan sudah dituruti kemauannya.
Seharusnya si anak, berprestasi di sekolahnya. Fasilitasnya sudah lengkap. Bejibun. Tak ada kesulitan harus dihadapi si anak.
Orang tua lupa. Anak bukan program komputer. Bukan pula seperti membuat roti. Jika bahan dasar bagus, alat pembuatnya bagus, lingkungan yang bagus, akan jadi roti yang enak.


Ketika anak bertidak tidak sesuai harapan, seberapa sering orang tua  bilang, “seharusnya kamu nurut. Kan sudah dibelikan hadiah”.
Ada harapan tersembunyi dari orang tua. Ada keinginan timbal balik. Orang tua yang tidak punya maksud dibalik sesuatu tidak akan bilang seharusnya.
Sama halnya seperti si pembeli. Tidak akan bilang seharusnya kalau dia tidak punya ekspektasi tertentu.

Kata seharusnya merusak kredibilitas. Ini terjadi ketika seseorang berharap untuk mendapat sesuatu dari orang lain.

Sebut saja urusan antara bos dan karyawannya, pimpinan dan bawahan, sesama rekan kerja, antara bidang yang berbeda, antara owner dan kontraktor, orang tua dan anak, istri dan suami. Sebut saja. Urusan yang melibatkan minimal dua orang sudah pasti akan menimbulkan interaksi.

Banyak proses interaksi antar pihak yang berjalan dengan asumsi dan didasari keyakinan seharusnya.

Bos berharap karwayannya bekerja dengan baik, menjaga aset perusahaan, produktivitas tinggi dan loyal kepada perusahaan, karena itu memang sudah seharusnya dikerjakan karyawan.
Karyawan menginginkan bos yang baik hati, tidak pelit, agak royal kepada karyawan, jangan suka marah dan sering kasih bonus, karena dalam benaknya, begitulah seharusnya seorang bos bertindak.

Tidak ada yang menuliskan hal yang seharusnya itu. Itu semua adalah harapan dalam hati.

Ketika karyawan tidak bertindak sesuai harapan, si bos berkata, “loh seharusnya mereka kerja dengan baik. Loyal. Jangan berbuat semaunya”
Begitu pula dengan para karyawan, mereka berkeluh kesah, seharusnya bos lebih peduli dengan karyawan. Seharusnya karyawan lebih diperhatikan kesejahteraannya.
Begitu siklusnya.

Bos akhirnya tidak percaya kepada karyawan.
Karyawan juga malas interaksi dengan bos karena merasa tak memperoleh yang diinginkannya.
Bos meragukan kredibilitas karyawannya sehingga akhirnya membuat peraturan ajaib yang mengekang karyawan.
Karyawan juga bekerja secukupnya karena kredibilitas bos sudah luntur di hadapannya. Tak perlu bekerja lebih karena tidak ada benefit tambahan.

Banyak hal dalam keseharian yang dimulai dengan asumsi seharusnya justru berujung kekecewaan.
Karena pemahaman seharusnya dijalankan dalam diam. Tidak ada kata terucap. Kedua pihak pun punya pengertian dengan kata seharusnya yang berbeda.
Tak ada pemahaman seharusnya yang benar benar sama.

Ketika ternyata realita berbeda dengan harapannya, seketika itu pula kredibilitas orang dengan pemahaman berbeda itu menjadi runtuh.
Padahal yang runtuh adalah asumsinya. Yang salah adalah pemahaman dirinya tentang bagaimana seharusnya orang lain bertindak.

Jadi sekarang, supaya tidak sering salah paham dan kecewa, sampaikan apa yang dirimu kehendaki.
Jangan berasumsi orang tahu apa yang kita mau.
Supaya ketika dirimu kecewa, selanjutnya dirimu bertanya, bukankah seharusnya dia tahu?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *